Pengalaman ketika menjalani tugas kerja di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di kota Nabire Papua. Sebuah kota kecil yang sudah tampak mulai menunjukan perkembangan pesat dari sektor ekonomi dengan semakin padatnya pembangunan dan tingkat sosialitas masyarakatnya.
Jumlah penduduk pendatang dari Jawa dan Sulawesi adalah yang paling mudah di jumpai disana meskipun ada juga beberapa yang datang dari ujung Indonesia bagian barat seperti Aceh rela mengadu nasib dinegeri yang sangat jauh dari pusat ibukota propinsi Papua tersebut.
Selama hampir satu tahun tinggal di Nabire, banyak pengalaman yang terasa sangat unik dan terkadang terkesan sangat lucu karena harus mencoba memahami undang undang adat yang berlaku di wilayah itu.
Untuk budaya yang sudah umum disana (negeri Papua), seperti memasak sagu, mengunyah sirih pinang, warga asli yang membawa senjata, memakai noken, mungkin hal tersebut sudah sering anda lihat pada acara televisi nasional dan merupakan kebiasaan warga setempat yang sudah sangat familiar.
Satu hal yang membuat kadang sulit untuk bisa dipahami oleh warga pendatang adalah, ketika seseorang yang ingin membeli property berupa sebidang tanah, berapapun harga tanah tersebut mampu di bayarkan, namun harga itu tidak berlaku untuk benda ataupun tumbuhan yang hidup diatas nya kecuali rumput dan semak belukar saja.
Biarpun hanyalah sebatang pohon pisang yang berdiri, tumbuhan itu adalah tetap hak milik paten penjual tanah sampai anak cucu dan keturunan mereka. Pembeli tanah sangat dilarang bahkan harus siap membayar denda jika melanggar ketentuan itu sesuai adat yang berlaku.
Lalu bagaiman jika pembeli ingin dapat memiliki tanaman itu? Atau ingin memusnahkannya? Kembali pada peraturan adat yang ada, yaitu membayar sejumlah uang sesuai kesepakatan dan biasanya juga dihitung hingga tunas ataupun anak pohon yang tumbuh meskipun masih belum berbuah. <bingung jadinya>